Rabu, 30 Januari 2013

Sempu Surga Tersembunyi




Jejak sang penjelajah

Pertama kali saya menyaksikan pemandangan bak scenery yang ada di film The Island yang diperankan oleh LD (Leonardo Dicaprio). Mungkin kamu juga pernah menonton film tersebut yang menampilkan latar belakang di sebuah pulau tak berpenghuni. Pemandangannya pun membuat penonton “ngiler” ingin merasakan sensasi pantai yang dikelilingi pulau-pulau kecil dengan pasirnya yang putih bersih diisi dengan air biru jernih. Langit yang membiru serta segerombolan burung berterbangan di langit luas. Luar biasa ngilernya saya dengan LD, udah ganteng main film di tempat keren! Jadi ngebayangin saya dan LD berada di tempat seindah itu. Adegan romantis, main pasir-uruk-urukan pasir, kubur-kuburan pake pasir. Duh romantisnya!  (tobaat sambel)

Okey, anyway, tempat yang jadi latar di film The Island yang diperankan oleh LD itu berada di Thailand tepatnya di Phi-Phi Island. Gara-gara itu film, Phi-Phi Island sekarang jadi tujuan utama pelancong yang pergi ke Thailand! Berhasil banget kan tuh LD bikin orang mupeng. Nah, kalo yang punya uang berlebih atau sengaja nabung untuk menyaksikan kemolekan Phi-Phi Island sambil membayangkan tokoh Hollywood berkeliweran di spot-spot tertentu bolehlah bersenang ria. Tapi, buat yang punya kocek pas-pasan yaa jangan sedih saudara-saudara, ternyata yang punya pulau model si cheeks (pipi) itu gak cuma ada di Thailand. Enggak perlu lah jauh-jauh, di Indonesia ada kok tempat semacam itu. 

Ada yang pernah mendengar Pulau Sempu? Pulau yang letak administrasinya di Kabupaten Malang, Jawa Timur? Pulau tersebut memang belum seterkenal Phi-Phi Island yang dikunjungi ribuan warga dunia setiap tahunnya. Tapi, kecantikannya tidak kalah kok dengan dengan Phi-Phi. Justru karena belum banyaknya orang mengetahui dan menjamah Pulau Sempu, keindahannya masih sangat asli. Bagi backpacker atau trekker, Sempu sangatlah cocok untuk berpetualang sambil menikmati keindahan dan ketenangan yang jarang adanya apalagi untuk warga kota. Saat ini, Sempu dinobatkan sebagai kawasan cagar alam karena masih terdapat binatang langka, seperti macan kumbang dan macan tutul. 


Pantai Sempu terlihat dari tebing karang

Pengalaman saya ke sana bersama rombongan dari pelajar Kampung Inggris tahun 2012 lalu. Kebiasaan setiap kursusan di Kampung Inggris itu setiap akhir periode pasti mengadakan jalan-jalan. Nah, sayang seribu sayang kalo tidak dimanfaatkan dengan baik. Ikutlah saya dalam rombongan ke Sempu. Saya hanya membayar uang Rp130.000 untuk 3 hari 2 malam. Harga segitu sudah termasuk transportasi, tenda, makan (mie teruuus), dan sepatu tracking. Bulan Februari 2012 lalu, musim hujan seperti sekarang, saya dan kawan-kawan nekat pergi. Dari Kediri, kami berangkat pukul 12 malam dan singgah sebentar di Batu, Malang. Sekitar pukul 3 dini hari kami istirahat di taman bermain Batu. Ada yang tahu udara Batu seperti apa dini hari gitu? Brrr…dingiiinnyoo seandainya bisa meringkung, meringkung deh sambil selimutan. Tapi mana bisa di elf yang bertumpuk manusia. Macam pepes aja kita-kita ini. 

Okey, lanjut, perjalanan menuju Sempu sehabis bersih-bersih dan shalat subuh. Pokoknya kita sampai di dermaga Pantai Sendang Biru menuju Sempu yang jarak tempuhnya kurang lebih 10 menit menggunakan perahu nelayan yang memang terbiasa mengangkut wisatwan yang berkunjung ke Pulau Sempu. Anyway, karena kita berlibur ke pulau yang tidak berpenghuni, segala perabotan pun harus sesuai dengan medan. Yup! Saya sarankan lebih baik menggunakan ransel lebih fungsional dan aman buat perjalanan.

Pernah saya melihat serombongan orang yang turun dari perahu. Waktu itu, saya dan rombongan hendak pulang ke Kediri dan kami pun menunggu perahu yang akan mengangkut. Kami yang berpakaian bak pemacul di sawah karena sekujur pakaian dan sepatu kami kotor oleh tanah, sedikit aneh melihat rombongan tersebut yang sama sekali tidak memiliki persiapan apapun. Yang wanita memakai sandal “cantik” dan tas “cantik” tanpa perbekalan pula. Dikira mau liburan ke pantai di Bali kali ya! Celetuk mentor kami berkata,”coba tebak berapa lama dan jauhnya mereka bakal bertahan di tengah medan yang kayak tadi kita lewatin.” Jleb! Anyway, catatan bagi semua orang kalo ingin berlibur sebisa mungkin cari informasi terkait tempat yang ingin dikunjungi. Ingat, jangan sampai salah kostum. 

Nah, karena jalan di Sempu tidak semulus jalan tol siap-siap sepatu siap tempur. Jangan menggunakan sandal jepit terlebih di musim hujan karena ini bakal nyiksa banget. Biasanya, di dermaga ada penyewaan sepatu khusus trek seperti Sempu. Waktu itu saya membayar Rp10.000/per pasang dan memang sangat membantu dibandingkan sepatu biasa. Oiya, bagi pelancong anyar yang melancong ke Sempu ini jangan pasang wajah “saya turis loh!" Menurut informasi dari obrolan saya dengan warga setempat, tampang pendatang anyar akan mudah diketahui dan pastinya akan dikenakan tarif mahal untuk berbagai fasilitas. Kalo bisa, ajak ngobrol penjaga warung dan warga yang sedang  kongkow-kongkow. Mereka baik-baik kok (berdasarkan pengalaman). Malah mereka memberi banyak informasi terkait Sempu dan juga tempat wisata lainnya. Berbaur dengan warga setempat itu lebih menyenangkan daripada merasa sebagai turis eksklusif. 

Perjalanan menuju “surga” di tengah pulau Sempu ternyata berat juga kala itu karena jalanannya becek parah. Bekas jejak kaki pendatang dimana-mana, ternyata saat itu kami tidak sendirian. Banyak kelompok lain yang hilir mudik. Perjuangan selama perjalanan terbayarkan dengan pemandangan Sempu yang ciamik. Sempat merasa bukan di Sempu, tapi di Phi-Phi Island (Sayang ada yang kurang, cowok-cowoknya enggak ada yang mirip LD). Kamera pun siap beraksi. Siap-siap jepret sana jepret sini eh tiba-tiba ada yang jepret. Huh, kalo naksir bilang-bilang dong, Mas! Ternyata yang dia jepret bukan foto saya, tapi monyet-monyet yang berkeliaran di belakang saya. Sial!

Pasang tenda di tengah deburan ombak di tengah pulau. Segala sesuatu berasa nikmat. Makan mie instan pun terasa makan spaghetti. Kami sempat menikmati sunrise di balik tebing yang menjulang. Ternyata di belakang tebing yang kami pijak adalah lautan luas. Menurut Wikipedia, Pulau Sempu dikepung Samudera Hindia di sisi selatan, Timur dan Barat. Ombak lautan membentur-bentur tebing sehingga menghasilkan bebunyian yang horor, tapi ada perasaan syahdu. Benar-benar menikmati alunan musik alam, perpaduan debur ombak dan kicauan burung ditambah hembusan angin mengibas jilbab saya. 
Di balik tebing curam

Pose di balik tebing

Jika sudah merasakan titik syukur demikian, rasanya kita tidak akan berhenti memuji ciptaan sang Pencipta lebih banyak lagi memuji sang Pencipta. Di mata kita, pemandangan yang dinikmati dengan gratis ini mungkin biasa karena kita terbiasa melihat hal indah. Tapi, bagi orang yang tidak memiliki kemampuan melihat sangatlah mahal. Mungkin saja, mereka akan rela membayar mahal demi satu menit untuk melihat keindahan alam semisal Sempu. Untuk itu, selama masih bisa mempergunakan indera secara lengkap. Pergunakanlah dengan sebaik-baiknya. Rasakan sentuhan demi sentuhan angin yang membelai kulit. Rasakan setiap getaran suara yang masuk ke telinga. Rasakan wangi tanah, bau dedaun yang basah, dan asap perapian. Rasakan setiap ecap makanan yang kita rasa di mulut. Nikmat bukan? 

Di dunia saja sudah merasakan indahnya surga, gimana di akhirat ya? Waallahua'lam bishawab

Rabu, 16 Januari 2013

Belajar jadi Surveyor


Beberapa bulan belakangan ini saya terlibat proyek-proyek riset yang menugaskan saya sebagai pengumpul data atau bahasa kerennya surveyor. Ada kisah klasik di balik perjalanan saya sebagai surveyor. Menurut pengamatan dan pengalaman saya,  ada beberapa karakteristik surveyor yang ditentukan oleh tools yang digunakan, dalam hal ini adalah angket. Bagi orang-orang yang tahu dunia riset di samping mahasiswa dan dosen pasti mengenal beberapa tipe wawancara dalam survey. Ada in depth interview (wawancara mendalam), open-ended interview (wawancara terbuka), dan close-ended interview (wawancara tertutup). 
 
Selama pengalaman saya tersebut ternyata survey itu tidak bisa sepenuhnya dipercayai atau bahasa lainnya akurat. Kenapa begitu? Iya, karena setiap survey ada kemungkinan cacatnya. Bisa saja “kecacatan” itu memang karena dari faktor surveyornya, tapi di luar faktor surveyor itu juga sering terjadi. Belakangan ini kebanyakan proyek riset yang saya kerjakan adalah market research. Riset yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar swasta yang menginginkan adanya pengetahuan dan tanggapan customer tentang produk mereka. Oleh karena itu, validitas data yang didapat surveyor jangan dianggap 90% atau bahkan 100% akurat. Khusus untuk ini, banyak motif surveyor yang melakukan survey untuk uang bukan karena akademis. 

Saya sendiri pernah mengalami “ketersesatan” melakukan survey untuk market research ini karena ada berbagai faktor di luar diri yang mendorong “nurani” saya tergadaikan. Poin yang harus dijunjung tinggi oleh seorang surveyor adalah kredibilitas dan kejujuran. Jika dua hal tersebut sudah tidak lagi dijunjung, jangan heran jika saya katakan data yang diperoleh adalah mutlak jauh dari akurat dan terpercaya. Saya pun akhirnya memutuskan untuk tidak lagi terpengaruh tekanan-tekanan yang membuat saya mengkerdilkan diri sendiri. Intinya, dalam menjalani survey harus percaya diri sendiri dan percaya bahwa Allah selalu mengawasi kita. 

Di luar pengalaman tidak menyenagkan sebagai surveyor, saya juga mendapat ilmu dan pengalaman luar biasa. Ilmu yang didapat tidak hanya sosial sekitar area survey, tapi juga mekanisme dan teknik survey. Salah satunya adalah tipe-tipe interview seperti yang sudah saya sebutkan di atas, ada tiga tipe wawancara: mendalam, terbuka, dan tertutup. 

In depth Interview
Wawancara seperti ini memang bisa dikatakan menyenangkan untuk surveyor tipe saya karena saya suka wawancara yang mengalir seperti cerita. Namun, kendalanya memang di entri dan koding data di samping surveyor juga harus bisa mengembangkan pertanyaan.
Wawancara seperti ini dibutuhkan pengetahuan yang cukup banyak tentang responden dan materi penunjang survey lainnya. Pewawancara akan masuk ke dalam pikiran responden ketika si responden sudah membuka kesempatan pewawancara untuk masuk ke bagian-bagian yang sensitif sekalipun. Tipe wawancara seperti ini mungkin tidak ada bedanya dengan wartawan atau reporter yang menggali informasi dari narasumber.  

Open-Ended Interview
Wawancara terbuka mungkin mirip dengan wawancara mendalam, tapi tetap berbeda karena meskipun judulnya terbuka sang responden tidak memiliki keleluasaan bercerita seperti di wawancara mendalam. Pertanyaan terbuka menggambarkan pilihan bagi orang yang diwawancarai untuk merespons. Pertanyaan ini bisa saja memungkinkan surveyor yang “nakal” memanipulasi data demi tercapainya target. Orang yang sering terjun di lapangan, menurut saya, lebih paham aksi-aksi seperti itu. Orang yang target-oriented terkadang memang bagus, tapi ada kalanya bisa melakukan berbagai cara demi tercapainya target. Misalnya: mengesampingkan validitas data.

Close-Ended Interview
Pertanyaan tertutup dalam wawancara ini membatasi respon orang yang diwawancarai. Pertanyaan tertutup (close-ended interview) hanya memberikan beberapa pilihan jawaban kepada orang yag diwawancarai layaknya pilihan ganda. Penanya hanya memberi pilihan jawaban misalnya: iya atau tidak, setuju atau tidak setuju, dsb. Jenis pertanyaan ini memang sangat memudahkan penanya maupun orang yang diwawancara karena tidak memakan waktu lama. Selain itu juga memudahkan dalam entri serta koding data. Namun sama halnya dengan open-ended interview, pertanyaan tertutup ini juga bisa disalahgunakan oleh surveyor yang target-oriented tadi. 

Pada dasarnya survey dilakukan untuk memperoleh data di lapangan terkait berbagai materi yang dibutuhkan. Surveyor adalah gerbang dari proses riset lapangan untuk mendapatkan data yang diinginkan. Namun, kadangkala muslihat demi target tidak bisa dihindari oleh orang yang “tersesat”. Saya harap kedepannya dalam mengerjakan sesuatu hanya percaya pada sang khalik yang memberi kemudahan, bukan percaya pada cara-cara muslihat.