Minggu, 29 April 2012

Menguak Rahasia Isi Perut Masyarakat Rote




Tidak sengaja saya menemukan buku kecil yang berisi kisah perjalanan saya selama di Rote tahun 2010 lalu, tiba-tiba saja ingatan itu muncul kembali. Terkenang masa-masa Kuliah Kerja Nyata (K2N) yang diadakan kampus saya setiap setahun sekali itu. Lembar demi lembar saya baca sambil bernostalgia mengenang banyak hal yang terjadi mulai dari yang lucu hingga kejadian yang menakjubkan. Ada juga kisah aneh yang semuanya apabila dipadukan menjadi bumbu penyedap hidup yang luar biasa. Ibarat sayur lodeh dengan berbagai campuran sayur dan bumbu di dalamnya malah membuat sayur lodeh terasa nikmat dengan keberagamannya itu. 

Yang menarik bagi saya saat ini adalah perspektif yang saya lihat selama tinggal disana terhadap alam dan masyarakatnya. Pada awalnya, sebelum berangkat ke Rote saya merasa khawatir dengan berbagai hal yang saya tahu dari teman dan juga dari artikel yang saya baca. Awamnya, saya mengenal Rote sebagai wilayah yang begitu terpencil dan dikelilingi hutan, layaknya Kalimantan. Selain itu, wilayah yang rentan dengan penyakit malaria. Horornya pikiran saya waktu itu, tapi setelah menginjakkan kaki di Rote semua tiba-tiba berubah menjadi adventurial. Semua ketakutan sirna begitu saja tergantikan dengan rasa takjub dan rasa penasaran. Berada di daerah yang benar-benar saya tidak tahu dan akan tinggal selama satu bulan pastinya jadi pengalaman berharga. Ternyata bayangan saya tentang wilayah Rote yang dikelilingi hutan belantara salah. Saya malah tinggal di pesisir pantai! Wah, ketahuan deh kalo kurang informasi dan pengetahuan. Serunya lagi, saya ditempatkan di Nemberala, tempatnya para surfer dunia berlenggak lenggok di tengah gulungan ombak. Keuntungan luar biasa bukan? ibarat pepatah, sambil menyelam main surfing.

Kembali ke catatan kecil saya yang menguak "isi perut" Rote dan masyarakatnya. Sepertinya sudah menjadi rahasia umum kalo masyarakat Rote itu doyan "minum". Bahkan, saking doyannya setiap waktu ada saja orang yang terlihat sedang menenggak botol air mineral yang berisi minuman khas Rote, sopi. Sopi adalah minuman khas Rote yang terbuat dari fermenatasi nira. Hasil dari fermentasi nira ini dapat menghasilkan alkohol yang memiliki kadar 20% - 70% lho! Kadar yang didapat biasanya tergantung cara pembuatannya. Saya dan teman saya pernah ditawari sopi saat kami berkeliling desa untuk menyebar undangan penyuluhan. Waktu itu kami melewati sekelompok laki-laki yang asik duduk santai di bawah pohon kelapa. Niatnya ingin memberi undangan, eh malah diajak minum sopi. Kebetulan saya perempuan berjilbab jadi mereka pun hanya menawari teman saya yang laki-laki (saya memang belum pernah melihat perempuan minum sopi, jadi saya berpikir penikmat sopi itu kebanyakan laki-laki). Saya hanya bisa berdiam, dan melirik lirih ke teman saya itu. Awalnya, dia sempat menolak tapi bapak-bapak itu justru memaksa. Karena dipaksa, akhirnya teman saya pun minum sopi yang ditawarkan. Dilihat dari ekspresinya seperti sehabis minum jus cabe, kacau. Wajahnya langsung merah padam dan matanya kedap-kedip. Saya jadi penasaran kok bisa setelah minum sopi ekspresinya aneh begitu. Ada yang salah kah dengan rasa minuman alkohol itu? batin saya melihat Albert. Sekitar 10 menit, dia akhirnya kembali "normal" dan dia mengungkapkan sensasi yang dia rasakan setelah minum sopi. Tenggorokan serasa terbakar dan kering seketika, matanya perih seperti dicolok cabe, dan dadanya panas membara. Wah, awalnya saya mikir lebay amat minuman kok bisa begitu. Tapi, melihat wajahnya yang serius dan menderita seperti disiksa saya pun percaya. Konon, banyak berita yang beredar di media mengatakan bahwa tingkat kriminalitas di Rote meningkat setiap tahunnya disebabkan miras tradisional yang dikenal dengan nama sopi.

Ternyata, masyarakat Rote juga masih percaya mitos lho! Saya mengenal mitos daerah setempat justru dari anak-anak dan pemudi setempat. Sepertinya dimana pun berada, kita tidak akan terlepas dari mitos. Lucunya, mitos itu tidak jauh-jauh dari makhluk ajaib yang berwujud ular besar atau makhluk yang berwujud aneh lainnya. Saya pernah diberitahu kalo gua yang berada dekat tempat saya tinggal ada ular besar yang kapan pun bisa muncul apabila ada pengunjungnya berkata kasar dan kotor. Ular besar tersebut akan memakan orang itu dan menelannya hidup-hidup. Glek! Saya jadi sedikit bergidik sewaktu mendengar cerita tersebut. Yah, tapi mana percaya kalo belum liat wujud aslinya si ular. Uniknya, meskipun gua tersebut dibumbui dengan cerita horor gua tersebut tetap ramai dikunjungi warga untuk sekadar mandi. Gua yang saya lupa namanya itu memang dikenal sebagai sumber air minum warga sekitar karena gua tersebut di dalamnya terdapat kolam yang airnya tidak pernah surut dan kering. Bahkan saking penasarannya saya, padahal takut, saya mencoba mandi di gua tersebut tapi pastinya rame-rame dong. Gak berani kalo sendiri, takut ditemani ular dan kawan-kawannya. Hiiiii 

Bagi yang mengira sirih atau kebiasaan menyirih sudah punah, Anda sepenuhnya keliru karena mamah-mamah di Rote masih suka nyirih lho! Bahkan saya pernah mencoba meniru kebiasaan mamah-mamah yang suka mengunyah sirih yang dicampur dengan bahan lainnya. Lucunya kalo melihat mulut para mamah sehabis mengunyah sirih, merah seperti habis minum darah segar. Hihihi 

Jangan bingung ya jika Anda bertemu dengan orang Rote yang mempunyai marga sama, tapi tidak mengenal salah satunya. Ini sama halnya dengan suku Batak yang memiliki banyak marga, dan meski mempunyai marga yang sama mereka belum tentu mengenal satu sama lainnya. Mayarakat Rote mengenal sistem marga yang diwariskan dari nenek moyang mereka di zaman kerajaan. Dulunya, Rote adalah wilayah kerajaan yang terdiri dari kurang lebih 9 kerajaan besar. Masyarakat Rote menyebutnya Nusak. Nusak adalah pengertian kerajaan dalam bahasa Rote. Setiap Nusak memiliki nama yang mencirikan garis keturunan, misalnya  Nusak Thie, Nusak Delha, Nusak Dengka, Nusak Oenale, dsb. Penduduk Rote asli memiliki marga dibelakang nama mereka, dan marga tersebut sebagai  penanda strata misalnya seorang yang memiliki marga Ndoen dan Messakh dikenal sebagai keluarga bangsawan karena dulunya kedua marga tersebut pernah berjaya di masanya.

Nah, masih banyak lagi "isi perut" Rote dan masyarakatnya yang belum saya korek. Tapi, saya harap ini sedikit mewakili apa yang saya ketahui selama berada disana. Rote merupakan negeri yang indah dengan kecantikan panoramannya dan juga keramahan masyarakatnya. Meski dibalik keindahan semua itu, ada ketabuan yang tidak diketahui khalayak.


 wajah lugu gadis Rote






Note: Berhubung saya tinggal di Nemberala, Rote Barat yang merupakan daerah pesisir, perspektif saya terhadap Rote pun lebih banyak dari daerah yang saya tinggali.






Selasa, 24 April 2012

Pesona Ombak Nemberala di Selatan Indonesia

Menyusuri pantai di kala senja terlihat matahari jingga menyemburat dengan eloknya. Suasana pantai yang begitu damai di tengah-tengah keramaian aktivitas warga yang juga menikmati indahnya sore itu sungguh menambah suasana pantai semakin menyenangkan. Ditambah lagi deburan ombak yang seolah-olah berlomba berlari-larian menuju pantai dan riuh kicauan burung menambah lengkap suasana pantai nan syahdu. Biru laut yang memantul ke awan dan kilauan cahaya senja mengimajikan pesona lukisan Tuhan. Sore itu, laut surut. Meskipun begitu, tidak mengurangi keeksotisan pantai Nemberala. Pantai yang terletak di pulau selatan Indonesia ini merupakan bagian dari daerah administrasi Kabupaten Rote Ndao, Kecamatan Rote Barat. 

         Pantai yang berada di Desa Nemberala ini sudah lama menjadi tempat wisata para turis domestik maupun mancanegara, khususnya para peselancar. Namun, pamor Nemberala lebih dikenal oleh para turis asing dibandingkan orang Indonesia sendiri. Keunikan ombak Nemberala lah yang menarik minat turis mancanegara, bahkan ombak Nemberala berada di peringkat kedua ombak terbaik di dunia setelah Hawai. Selama ini, banyak orang hanya mengetahui Bali sebagai destinasi berselancar dan berwisata. Padahal, Nemberala tidak kalah bagus dengan Bali. Potensi alam yang dimiliki Nemberala sudah sepatutnya dikembangkan, sehingga lebih banyak orang mengenal Nemberala sebagai objek wisata. Jalur transportasi menuju Nemberala lebih sulit dijangkau dibandingkan Bali sehingga menjadi salah satu kendala bagi pengembangan wisata di Nemberala.

         Perjalanan menuju Desa Nemberala terhitung cukup sulit karena Desa Nemberala terletak jauh dari pusat ibukota Rote, yaitu Ba’a. Akses menuju pulau Rote dapat dijangkau melalui jalur laut dan udara dari Kupang. Kabupaten ini memiliki satu bandara penerbangan lokal dan satu pelabuhan besar di ibukota kabupaten, Ba’a. Kendala yang muncul saat perjalanan menggunakan jalur laut adalah cuaca yang tidak menentu membuat volume ombak meninggi. Kalau cuaca buruk terjadi, sudah pasti kapal-kapal tidak bisa menyeberang dan harus menunggu ombak kembali stabil. Ini sangat memakan waktu yang cukup lama karena kita tidak tahu pasti kapan cuaca akan kembali membaik dan ombak kembali stabil. Persiapan dan antisipasi apabila ada kejadian seperti itulah yang harus diperhatikan jika ingin berkunjung ke Rote. Di Pelabuhan Tenau, tersedia kapal cepat penumpang yang hanya menyebarang sekali dalam sehari. Harga sekali jalan memang terbilang cukup murah dibanding menggunakan pesawat. Tapi, tentu menggunakan pesawat lebih cepat dan nyaman. Tinggal pilih apakah ingin melakukan perjalanan yang nyaman, tapi mahal atau merasakan atmosfer kehidupan masyarakat selatan Indonesia, tapi harus rela bertoleransi dan bersabar.

         Kejadian penundaan keberangkatan kapal penumpang di Kupang pun terjadi pada saya. Perjalanan yang saya tempuh saat itu bersama rekan-rekan ke Rote menggunakan kapal cepat Express Bahari. Saat itu, kami sudah berada di dalam kapal siap untuk menyeberang menuju Rote. Namun, beberapa saat setelah masuk kapal tiba-tiba ombak mengguncang kapal yang kami tumpangi. Akhirnya, penyebarangan pun dibatalkan dan kami kembali menuju penginapan sambil menunggu kabar ombak stabil. Lima hari kami menunggu tanpa kepastian penyebarangan hingga sempat muncul niat untuk kembali ke Jakarta. Namun, kami mesti menunggu kabar yang pasti. Untungnya, Hingga akhirnya, kabar ombak kembali stabil pun sampai pada kami dan bergegaslah kami menuju pelabuhan. Untungnya, hari itu benar-benar cerah. Seolah ingin mengobati hati kami yang sempat sedih karena tertunda cukup lama. Catatan bagi Anda yang ingin menggunakan transportasi laut, sangat disarankan untuk mencari informasi yang lengkap tentang penginapan sekitar pelabuhan karena kondisi cuaca terkadang tidak dapat diprediksi.



       Akses menuju Desa Nemberala dari ibukota Ba’a sangat jauh dan cukup sulit karena angkutan menuju Desa Nemberala sangat jarang dan rumit. Jika ingin ke Nemberala, dianjurkan sebelumnya sudah mencari informasi tentang transportasi menuju desa tersebut. Di Nemberala, terdapat cukup banyak hotel yang menyediakan jasa antarjemput, namun harus menghubungi pihak hotel sebelumnya melalui media online. Selain itu, biaya yang dikenakan biasanya sudah sepaket dengan biaya penginapan. Selain jasa antarjemput, bisa juga menggunakan jasa ojek yang banyak ‘mangkal‘ di pusat ibukota Ba’a. Perjalanan menggunakan motor atau ojek tentu memiliki nilai lebih dibanding menggunakan jasa angkutan umum. Selain cepat, menggunakan ojek juga bebas menghirup udara segar Rote dan melihat dengan bebas pemandangan indah sepanjang perjalanan. Sepanjang perjalanan, mata kita akan dimanjakan oleh pemandangan padang rumput yang luas dan perbukitan yang penuh dengan bebatuan. Apabila melihat rumah-rumah penduduk di sana, kita akan dikejutkan dengan bentuk rumah yang masih asli khas Rote dengan atap rumbia dan pagar dari bebatuan ditambah hewan peliharaan yang berkeliaran di halaman rumah, seperti babi, kuda, sapi, dan anjing. Waktu tempuh menuju Desa Nemberala dari Ba’a menggunakan motor kurang lebih 3 jam perjalanan. 

         Desa Nemberala sudah banyak dikenal banyak turis mancanegara, maka jangan heran apabila berada di sana melihat lebih banyak turis asing dibandingkan turis lokal. Kebanyakan dari turis yang datang ke Nemberala adalah peselancar yang ingin “mencicipi“ ombak Nemberala. Ketika berkunjung ke Nemberala, jangan takut tidak mendapat penginapan karena banyak hotel dan penginapan di pinggir pantai dengan harga variatif. Tidak sedikit turis asing yang tertarik berinvestasi untuk membangun hotel di sana karena Nemberala sudah cukup dikenal banyak turis asing, sehingga kesempatan mengelola bisnis penginapan cukup menjanjikan. Tidak hanya hotel, warga asing pun ada yang membeli tanah di sekitar pantai Nemberala dan biasanya tanah tersebut dibatasi pagar batu yang menandai tanah tersebut sudah dimiliki. Ciri-ciri penginapan yang dimiliki warga asing biasanya terlihat dari design yang terkesan minimalis dan tradisional. Material bangunannya menggunakan bahan alami yang terbuat dari bebatuan, kayu, dan atapnya terbuat
dari rumbia. 

          Menurut penuturan penduduk setempat, Nemberala sangat ramai dikunjungi turis pada bulan Agustus-Oktober karena bulan-bulan tersebut merupakan ajang perlombaan selancar dunia yang diadakan setiap tahunnya. Bagi pecinta berselancar, ajang tersebut tentunya menjadi saat yang dinanti-nantikan karena para peselancar dari seluruh dunia berkumpul dan memperlihatkan kebolehan mereka menaklukan ombak Nemberala yang terkenal sulit ditebak. Ajang tersebut dilaksanakan tidak hanya di Nemberala, tapi juga di Bo’a yang berjarak puluhan kilometer dari Nemberala. Kedua pantai tersebut sama-sama indah. Kedua-duanya menampakkan kemolekan ombak yang menarik para turis asing datang dan warna lautnya yang turquoise ditambah hamparan pasir putih makin menambah pesona alam bumi selatan Indonesia. Nemberala ibarat batu mutu manikam dari bumi selatan Indonesia yang apabila 'dipoles' akan menaikkan daya tarik dan daya jual. Jadi, tunggu apa lagi? Lihat, rasakan, dan nikmati kilauan pesona mutu manikam Indonesia dari selatan!